Sabtu, 30 November 2013

Warung Pasinaon Berdayakan Lanjut Usia dengan Calistung

Warung Pasinaon Berdayakan Lanjut Usia dengan Calistung

Semarang, ANTARA Jateng - Banyak pilihan bagi perempuan di Jawa Tengah untuk menjalani kehidupannya. Namun ada perempuan-perempuan yang nasibnya kurang beruntung dan akhirnya hanya pasrah menjalani kehidupannya sampai-sampai tak mengenal aksara alias tidak bisa baca tulis hingga umurnya separuh abad.

Rohmiyati (54) misalnya nenek 10 cucu ini merasa menyesal baru melek aksara ketika usianya tidak muda lagi. "Saya pernah ikut keaksaraan tapi karena jarang baca jadi banyak lupa lagi," ungkap Rohmiyati ketika ditemui di Warung Pasinaon di Bergas Lor, Ungaran Jawa Tengah awal Mei lalu.

Demikian juga nenek bernama Sugimah (60) yang diusia senjanya baru mengenal aksara. Namun dengan senang sisa waktunya digunakan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung.

Rohmiyati dan Sugimah adalah dua perempuan yang masih menunjukkan semangat belajar. Kedua warga desa Bergaslor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Ungaran, Provinsi Jawa Tengah itu contoh nyata bagaimana belajar tidak mengenal usia dan waktu.

Di sisi lain Rohmiyati dan Sugimah tidak akan berubah kebutaan aksaranannya jika mereka tidak mengubahnya. Beruntung, tak jauh dari tempat tinggalnya ada sebuah tempat yang banyak memberikan kemajuan dalam mengenalkan dan melancarkan baca tulisnya.

Tempat itu bermana Taman Bacaan Masyarakat Warung Pasinaon atau yang lebih dikenal dengan Wapas yakni sebuah lembaga yang tidak hanya menyediakan buku-buku tetapi melakukan berbagai kegiatan yang bisa diikuti ibu-ibu dan anak-anak.

"Dulunya, saya melihat banyak anak-anak yang tidak terarah kegiatannya karena orangtuanya bekerja. Kemudian ada juga ibu-ibu buruh momong yang tidak bisa baca tulis. Akhirnya kita bikin tempat ngumpul atau perpustakaan kecil-kecilan di teras rumah orangtua. Dalam perjalanannya anak-anak maupun ibu-ibu lanjut usia itu kami berikan berbagai kegiatan," ungkap pengelola Warung Pasinaon, Tirta Nursari di teras rumahnya di Bergaslor, yang difungsikan sebagai kegiatan belajar mengajar bagi masyarakat yang membutuhkan.

Warung Pasinaon awalnya adalah taman bacaan yang didirikan Tirta Nursari pada 2007 untuk anak-anak, namun tiga tahun belakangan ini kegiatannya merambah menjadi memberdayakan perempuan. Salah satu kegiatannya yang sangat membantu dalam memelekkan aksara bagi perempuan adalah menerbitkan Koran Ibu.

Koran inilah yang telah banyak membantu ibu-ibu yang semula belum lancar menulis membaca menjadi bukan hanya bisa membaca namun bisa menuturkan kisahnya dalam tulisan. "Koran ibu ini isinya sebagian adalah tulisan pemikiran ibu-ibu yang sedang belajar baca tulis,"ujar Tirta seraya menyebut nama Warung Pasinaon (Wapas) berarti tempatnya belajar, sementara kata warung sendiri lebih dimaksudkan untuk menarik masyarakat sekitar.

Adalah pemandangan yang biasa di Wapas jika setiap ibu-ibu datang ke Pasinaon oleh Tirta diminta membuat satu tulisan dan setelah itu tulisannya dimasukkan ke dalam kotak. Isi tulisan bisa pengalaman sehari-hari atau merupakan hasil wawancara dari tamu yang datang mengunjungi Wapas. Dengan cara itulah Tirta memperlancar ibu-ibu yang selama ini buta aksara menjadi melek aksara bahkan tulisannya menjadi bahan untuk dimuat di Koran Ibu.

Dalam perjalanannya, untuk menambah wawasan masyarakat yang datang ke Pasinaon, taman bacaaan ini mengembangkan menjadi taman bacaan kreatif. Karenanya "Wapas"pun berkreasi dengan berbagai kegiatan yang merangsang masyarakat sekitar untuk terus belajar memberdayakan diri. Khususnya bagi ibu-ibu yang sehari-harinya sudah disibukkan dengan pekerjaan agar mendapatkan pencerahan dari buku yang dibaca maupun mengikuti kegiatan-kegiatan yang ditawarkan Wapas.

Manfaat besar bisa dipetik dengan membaca buku di Wapas ini, setidaknya bagi Heni (30) yang memutuskan berwirausaha sendiri setelah membaca buku di Wapas. Sebelumnya ia sudah bekerja sebagai buruh cuci botol di pabrik selama 30 tahun namun berani memutuskan ke luar karena ia ia mengetahui informasi mengenai wirausaha dari buku yang dibacanya.

Ada juga Dwi Aryanti yang merasakan manfaat Wapas, karena di Wapasi tidak hanya menyediakan buku bacaan saja namun juga memberikan akses berinternet bagi warga sekitar. Dengan internet itu Dwi Aryanti bisa membantu anak-anaknya untuk mendapatkan soal pelajaran yang dibutuhkan anak-anaknya.

Banyaknya kegiatan bermanfaat yang dilakukan di Wapas membuat pengunjung Wapas semakin terkesan. Maka sejak Januari 2012, Wapas berupaya memberikan kegiatan di warungnya. Ada kursus Bahasa Inggris, ada kelas menulis, belajar bersama, belajar menggambar, monitoring anak. Tidak hanya belajar di Wapas saja, sesekali dalam sebulan Tirta mengajak warga belajarnya outbond.

Banyaknya kegiatan di Wapas menjadikan taman bacaan itu cepat dikenal luas, dan mulai dikunjungi Forum Taman Bacaan yang diketuai Gol A Gong, juga dari sesama pengelola taman bacaan masyarakat dari Sulawesi Barat, dan sempat diwawancara oleh Andy F.Noya pembawa acara Kick Andy.

Semua itu dilakukan Tirta bersama Warung Pasinaonnya dalam rangka melaksanakan program keaksaraan fungsional dan juga program Aksara Agar Berdaya (AKRAB) yang digagas oleh pemerintah pusat. Ia berharap perempuan di sekitar rumahnya akan terentaskan dari masalah keaksaraan. Tirta meyakini dengan kemampuan membaca dan menulis yang memadai pembodohan bisa dihindari.

"Dengan adanya taman bacaan yang kreatif dan rekreatif menjadikan pembaca buku menemukan ide-ide baru dan mendapatkan pencerahan," katanya.

Kiprah Tirta memberdayakan perempuan tidak hanya mendapat apresiasi berbagai pihak. Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) yang lokasinya relatif berdekatan dengan Waung Pasionaon juga mengetahui sepak terjang Tirta dan Wapasnya.

"Ke depan ini kita akan membuat program desa berbudaya baca yang melibatkan perempuan. Program desa berbudaya baca akan menunjuk desa Bergas di Ungaran sebagai proyek percontohan. Dalam desa berbudaya baca ini akan kita buat sudut pintar yang memberikan kursus Bahasa Jawa menggunakan huruf Jawa. Itu baru salah satu saja. Namun sebenarnya P2PNFI di sini akan memiliki sedikitnya delapan program yang banyak melibatkan perempuannya," kata Kepala P2PNFI Dr.Ade Kusmiadi saat ditemui di ruang kerjanya di Ungaran, Jawa Tengah.

Ke delapan program itu lanjut Ade adalah penguatan keaksaran dasar, keaksaraan fungsional, penguatan taman bacaan di kampung-kampung yang memanfaatkan pos ronda sebagai tempat membaca, menerbitkan koran ibu, penguatan organisasi sebagai lembaga yang mendukung keaksaraan, wirausaha desar berdasarkan kearifan lokal, pengembangan jaringan kemitraan untuk menguatkan lembaga serta penguatan teknologi informasi.

"Untuk tahap awal kami akan melakukan pemetaan lapangan atau disain model. Kami akan melakukan kerja sama dengan dengan lembaga seperti Warung Pasinaon untuk melatih serta sosialisasi di lapangan terkait pengembangan desa berbudaya baca. Tujuan akhirnya adalah membentuk desa yang berkarakter membaca," kata Ade.

Jika semua berjalan baik maka ke depan dengan desa berbudaya yang karakter baca ini diharapkan bisa menjadi model percontohan pendidikan nonformal dan informal yang bisa diikuti daerah lain.

Ade juga menjelaskan permasalahan gender menjadi perhatian penting di wilayah binaannya yang meliputi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Lampung meski tidak secara khusus menyebut salah satu programnya menangani pemberdayaan perempuan.

Namun bukan berarti tidak ada program pemberdayaan perempuan, Ade menyebut pihaknya telah melakukan pembinaan terhadap petani bunga perempuan yang bekerjasama dengan pihak lainnya. Selain itu dalam desa vokasi. P2PNFI telah pula membina perempuan pembatik, demikian juga dengan pengelola taman bacaan masyarakat perempuan.

Berdaya dengan mesin jahit
Pemberdayaan perempuan nyatanya tidak hanya bisa dilakukan oleh perempuan saja. Ada seorang pengelola Lembaga Penddidikan Kursus INKA, Lutfi Hidayat, dari Wonosobo yang peduli pada pemberdayaan kaum hawa.

Lutfi yang rajin berkunjung ke desa-desa ini melihat banyak perempuan di Desa Kaliputih yang senang berkumpul tanpa mengerjakan sesuatu yang berarti. Penduduk desa yang berjumlah 1453 orang dan 389 di antaranya merupakan perempuan ini, umumnya adalah petani salak yang tidak memiliki keterampilan tertentu. Hingga suatu saat di bulan Oktober 2011 Lutfi menawarkan kursus menjahit bagi 59 perempuan dengan dukungan dana dari P2PNFI senilai Rp30 juta.

Tawaran ini disambut sukacita oleh ibu-ibu di Kaliputih karenanya ibu-ibu itu dengan semangat berlatih menjahit. Di sisi lain, rampir sebagian besar ibu-ibu tersebut belum bisa menggunakan mesin jahit karena merupakan pengalaman baru maka menjahit merupakan pelajaran yang menyenangkan.

"Banyak ibu-ibu di sini yang belum bisa pakai mesin jahit, jadi waktu latihan itu banyak yang salah," cerita Maryam kordinator ibu-ibu Kaliputih bersemangat. Lufti pun menimpali bahwa mesin jahitnya banyak rusak setelah digunakan latihan karena salah mengoperasikan mesin jahitnya.

Selama tiga bulan, Oktober-Desember 2011, mesin jahit yang semula berada di lokasi kursus di kota Wonosoba namun untuk memudahkan kursus bagi ibu-ibu maka Lufti pun memboyong mesin jahit ke Desa Kaliputih untuk mengajari ibu-ibu di sana.

Setelah pelatihan menjahit usai. saat itu ibu-ibu menyadari kalau hanya menjahit baju saja agak sulit untuk mengaplikasikan menjahitnya. Kemudian, ibu-ibu mengusulkan kepada Lutfi agar mereka diberi keterampilan lain. Lutfi pun menyetujui dan meminta sang instruktur jahit INKA, Fitri, untuk memberikan praktik menjahit tambahan yaitu membuat tas dari bahan kain.

Ibu-ibu tersebut sudah menamatkan belajar menjahit dan tiba saatnya untuk mempraktikannya di rumah. Kesulitan pun datang, karena ibu-ibu tersebut tidak ada yang memiliki mesin jahit, Lutfi, kemudian memberikan tiga mesin jahit untuk dipakai bersama.

Sementara itu dari hasil kursus menjahit itu, dibuat dua kelompok yaitu kelompok Berkah beranggotakan 20 orang dan kelompok Barunia beranggotakan 35 orang. Ke dua kelompok itu berinisiatif membuat tas dan menawarkannya ke berbagai pihak. Tak dinyana, sejak saat itu pesanan tas karya ibu-ibu mendapat respon baik, toko, sekolah bahkan pabrik maupun pribadi memesan tas di desa Kaliputih itu.

Pesanan tas yang terus mengalir hingga saat ini telah memberdayakan perempuan di Kaliputih. Kini, ibu-ibunya sudah bisa mencicil mesin jahit sendiri. "Tadinya cuma ada tiga mesin jahit jadi pada berebut, karena mereka ingin menyelesaikan secepat mungkin membuat tasnya, tetapi tidak bisa karena harus bergantian menjahitnya. Karena itu, saya berusaha mencarikan pinjaman lunak untuk ibu-ibu agar bisa mencicil mesin jahit.

Sekarang ini sudah ada 10 mesin jahit yang tersebar di rumah-rumah," jelas Maryam. Karenanya Maryam dan teman-temannya kini bisa tersenyum lebar karena sudah bisa mendapatkan tambahan penghasilan. "Upah jahitnya tergantung model tasnya, tapi rata-rata upah jahitnya sekitar Rp2500-Rp3500 per satu lusin tas. Kalau harga jual tas per lusinnya berdasarkan modelnya, semakin tinggi kesulitannya maka semakin tinggi juga harganya tapi rata-rata kami menjualnya sekitar Rp16.000-Rp23.000 per lusin," ungkap Maryam.

Meski upahnya tidak seberapa, namun Maryam yakin, membuat tas ini bisa menjadi penghasilan tambahan bagi ibu-ibu di Kaliputih. Setiap hari ibu-ibu Kaliputih ini bisa menjahit tiga lusin. "Ya, itu sudah lumayan kalau dikumpulkan sebulan, hasilnya lumayan menyenangkan," cerita Maryam sumringah.

Selain memberdayakan perempuan di desa, Lufti bekerjasama dengan P2PNFI mengembangkan model pelatihan bagi tenaga kerja wanita untuk tujuan Hong Kong. "Kami mendidik 20 perempuan yang akan bekerja ke luar negeri agar mendapat bekal ilmu yang memadai. Di antaranya, belajar bahasa, budaya negara tujuan, manajemen pendapatan, wawasan kebangsaan, psikologi, keterampilan tata busana, merawat orang jompo, baby sitter dan proteksi diri," tutur Lutfi.

Ke-20 perempuan berusia 16-40 tahun peserta pendidikan penatalaksanaan rumah tangga (PLRT) yang didukung pelatihannya oleh P2PNFI Region II tersebut saat ini sudah mendapatkan tempat kerja di Hong Kong. Lutfi berharap, PLRT di Hong Kong bisa membawa diri dan menjaga nama baik bangsa.

Lutfi berharap program-program pemberdayaan seperti itu yang sangat dibutuhkan masyarakat khususnya perempuan. Ia sendiri dengan lembaga kursusnya yang memberikan jasa kursus menjahit, setir mobil, serta computer ini berupaya membantu peserta kursus agar memiliki keterampilan yang siap kerja.

Selain itu Lutfi juga melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang bisa memberikan solusi peningkatakan kualitas sumber daya manusia khususnya di Wonosobo. P2PNFI adalah salah satu pihak yang banyak membantu dalam memberdayakan kaum perempuan pun diharapkan untuk terus bahu membahu mengentaskan masyarakat dari kebodohan.

Khusus untuk PLRT ia melihat peluang kerja di luar negeri harus dibarengi dengan peningkatkan kualitas sumber daya manusia yang akan di kirim. Karena itu menurut Lutfi para tenaga kerja Indonesia harus dibekali dengan pendidikan yang lengkap.

"Para pekerja di luar negeri itu adalah pahlawan devisa, sehingga mereka harus dibekali pengetahuan yang cukup. Kami memberikan pelajaran wawasan kebangsaan serta membekali para TKI dengan proteksi diri. Sehingga jika terjadi sesuatu mereka bisa tahu kemana mereka harus meminta pertolongan. Dan yang penting kerjasama dengan P2PNFI ini membuat calon TKI tidak terlalu lama berada di tempat penampungan karena mereka sudah dipersiapkan dengan baik," katanya.

sumber : 
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=62091#.UprJJtLwmaw